Baru minggu lalu, disaat kami sekeluarga
melalui toll Jakarta-Tangerang, billboard Ikea sebuah hipermarket furniture
raksasa asal swedia berdiri megahnya di kiri jalan toll.
“Asyiik... Ikea dah mau buka, nanti kita
main kesana ya Pa..” lonjak Sekar anak bungsuku berteriak kegirangan. Selain
karena hotdognya yang lezat, ada saja barang dekorasi dan keperluan rumah
tangga dengan desain cantik yang menggoda karena murahnya.
Iya iya.. senyum kecutku, antara senang
dan khawatir akan keberadaan serdadu baru di tanah air kita ini.
Bagaimana tidak, satu set tempat tidur
untuk kamar anak dengan desain yang cantik dapat kuterka bakal dibandrol tak
lebih dari 5juta. Iya, memang menguntungkan buat kita konsumen yang senantiasa
hunting barang bagus dan murah, namun gimana nasib pak Sulin langganan tukang
kayuku yg tak mampu menyelesaikan pekerjaan itu dalam 5-6 hari dengan harga
bahan dan ongkos yang bersaing. Hampir dipastikan anaknya bakal tak dapat ikut
karya wisata lagi tahun ini, karena iuran yg tak mampu ditebusnya.
Ya, saat yang dikawatirkan itu telah
tiba. Negara ini telah memanen buah dari ke egoisan para elite yang memikirkan
udelnya nya sendiri. Alih-alih mendorong bangsa ini untuk berkreasi dan
bertarung dengan negara lain, terbuai kita dalam segala penundaan untuk
mencipta sesuatu dengan daya saing tinggi. Alhasil, beribu serdadu ekonomi
menyerang dan bersaing mengambil jatah kue di pasar bernama Indonesia. Tak
hanya produk berteknologi tinggi yang masuk memenuhi kebutuhan kita, sandal, kopiah,
sampai mie bakso pun tak tanggung tanggung turut menyikut pedagang lokal.
Gimana sekolah musik lokal gak kelabakan
mencari murid, jika Yamaha raksasa alat musik jepang itu membuat sekolah musik
hanya sekedar pelengkap bisnis utamanya dalam menjual alat musik. Digeber
fasilitas mewah dengan uang kursus bulanan super murah pun mereka gak merasa
rugi. Hehe... habis lah daya saing kita. Disaat duku harus melawan duren, gak bakal imbang pertandingannya.
Tergugah saya melihat grafik yang di
share oleh Mas Handry Satriago CEO General Electric di Indonesia. Bahwa untuk
perkara 'Inovasi', Indonesia masih duduk di peringkat 25 di dunia. Top 3 dunia
mudah ditebak US, Germany, dan Japan. Yang menarik lagi, saya baru tau jika
pendorong inovasi terbesar di indonesia adalah UKM, StartUps, dan Individuals. Dalam hal ini termasuk mahasiswa.
Cukup melegakan mengetahui bahwa
sekelompok pelajar dan usahawan muda cukup sadar dan berperan aktif dalam
mendorong inovasi di indonesia. Namun pandangan pribadi saya menilai agak
berbeda. Bagaimana besar efektifitas mereka dalam mendorong dan merubah haluan
kapal tanker besar berbendera merah putih ini memasuki gelanggang yang tepat
dan kecepatan berlayar yang cukup tinggi dalam mengejar posisi 5 besar dunia.
Jika memang kita harus keluar dari
sekedar negara 'Consumes' menjadi negara 'Creates', diperlukan revolusi "Mental Engineering' yang 'terstruktur, sistematis dan masif' di seluruh generasi
penerus bangsa (meminjam istilah Pak Prabowo nih..).
Mereka harus dirangsang, didorong,
dipecut, tapi juga dihargai setinggi tingginya agar mau berlomba lomba untuk
berfikir, berkreasi, dan mencipta inovasi-inovasi baru.
Engineering dalam hal ini hukan berarti
melulu perkara teknologi yah. Tapi seluruh sektor. Dari tidak ada menjadi ada,
dari lambat menjadi cepat, lemah menjadi kuat, gembrot menjadi ramping, dan lain sebagainya.
Kecepatan mengurus KTP hilang dari 2
hari menjadi 20 menit adalah suatu inovasi efisiensi yang luar biasa menurut
saya.
Bagaimana membangun "Mental Engineering"
bangsa ini mampu berjalan cepat jika, pelaku bisnis kecil dan menengah serta
mahasiswa yang hanya melakukannya.
Revolusi membutuhkan momentum yang lebih
besar dari itu. Lingkungan sosial terkecil keluarga, sekolah, serta komunitas
masyarakat, sebagai pelaku. Pemerintah dan perusahaan-perusahaan raksasa
sebagai mesin pendorong dan fasilitatornya. Itu baru mantab dan nendang.
Kita melulu menyalahkan pemimpin dalam
segala ketertinggalan kita dibanding negara lain, lalu duduk berdiam diri tak
melakukan apa-apa. Ya, itu terjadi juga.
Namun disaat segelintir Individuals dan UKM telah unjuk diri untuk melakukan perannya, siapa lagi yang punya kekuatan
untuk me "Leverage" dan membuatnya menjadi gerakan semesta? Tetap pemerintah dan
pemimpin. Mereka harus jeli melihat sesuatu yang positif dan mengembankannya,
mereka juga harus teliti melihat potensi perpecahan, mengarungi serta
menembak di tempat.
Sebagai pemimpin, Itu aturan
permainannya. Kalo bernafsu menjadi petinju tapi gak pernah mau ditinju, yaah...
ke laut aja deh.
Negara didepan persimpangan jalan.
Apakah kita mau menjadi negara Inovasi, meng'create' sesuatu, dan ramai-ramai
tawuran menyerang dunia?
Ataukah kita senang menjadi anak gemuk
manja yang gak bisa berdiri karena dijejali berbagai kue, permen, dan manisan,
sebagai negara konsumsi yang tetap tak sadar dompet menipis dan mengering
tinggal digoreng jadi kerupuk kulit, pait, mambu, dipangan ora enak... hosh hosh..
tarik napas.
Monggo Pak Supir, kendali di tangan
anda.