Wednesday, July 30, 2014

Lurik Peranakan



Sepintas orang melihat baju surjan lurik berwarna warni di Jogja hanya perkara estetis dan selera saja. Ternyata tak demikian halnya. Sampai saat ini saya masih sering terkagum akan kedalaman filosofi berbagai peninggalan budaya jawa.

Belum berbicara mengenai keris, wayang, dan berbagai upacara adat yang suatu saat akan saya bahas belakangan. Surjan bergaris biru hitam ini merupakan satu hal istimewa yang baru saya temui.

Malu juga rasanya sebagai 'hardcore Jogjanese' ketinggalan informasi berharga ini.


Kain lurik biru hitam ini bernama ‘Lurik Peranakan’. Kebanyakan orang memahami bahwa motif ini hanya dipakai oleh abdi dalem keraton. Baju korpri jaman dulu kata kebanyakan orang untuk menyederhanakannya. Tapi tak banyak yang mengerti latar belakangnya.


 
Jumlah garis lurik ini berseling 3 & 4, sehingga disebut ‘Lurik Telupat’ atau telu dan papat. Telupat ini memiliki makna ‘kewulu minangka prepat’, yang juga berarti ‘Rinengkuh dados kadhang ing antawisipun Abdi Dalem setunggal sanesipun, kaliyan Hingkang Sinuwun Kanjeng Sultan’.. hehe tambah bingung.

Terjemahannya kurang lebih adalah ‘menyatu dan menjadi saudara kandung baik sesama abdi dalem, maupun wujud persaudaraan terhadap Sultan’.

Dengan kata lain, lurik ini merupakan satu perwujudan dari makna ‘manunggaling kawula gusti’, penyatuan antara raja dan rakyatnya, atau lebih tinggi lagi penyatuan antara Tuhan dan Mahluknya. Widiih.. daleem..

Selain garis tersebut, warna biru tua pun mengandung arti ‘kedalaman’, bagai kedalaman laut, ketenangan, hening, tak bisa dikira dan diremehkan, namun senantiasa sederhana, dan rendah hati.



Mengenai ide dan desain baju ini berasal dari Sri Sultan Hamengku Buwana V disaat beliau mengunjungi para santri di Banten. Beliau melihat desain baju kurung dengan belahan di muka untuk mempermudah pemakaian, serta belahan di lengan untuk mempermudah melipat di kala wudhu.

Jumlah 6 kancing pada leher bermakna Rukun Iman, sedangkan 5 kancing pada belah lengan yang juga disebut ‘belah banten’ bermakna Rukun Islam.



Sedangkan sebutan Lurik Peranakan tersebut berasal dari cara pemakaian kurung yang bagaikan masuk kedalam rahim ibu atau lubang peranakan, yang dapat juga diartikan masuk lingkungan ‘njero benteng’ dalam keraton, dimana keamanan, kenyamanan dan cinta kasih ditemui bagai dalam rahim seorang ibu.






 Hmm.. simple sederhana, namun cukup dalam dan bermakna.

Tak tersadari pengertian ini merubah total cara pandang saya melihat seorang tua dengan lurik peranakan dan blangkonnya yang sedang melintas di jalan Bantul dengan sepeda onthel nya.



Jogja memang istimewa

No comments:

Post a Comment