Sepintas orang melihat
baju surjan lurik berwarna warni di Jogja hanya perkara estetis dan selera
saja. Ternyata tak demikian halnya. Sampai saat ini saya masih sering terkagum
akan kedalaman filosofi berbagai peninggalan budaya jawa.
Belum berbicara mengenai
keris, wayang, dan berbagai upacara adat yang suatu saat akan saya bahas belakangan.
Surjan bergaris biru hitam ini merupakan satu hal istimewa yang baru saya
temui.
Malu juga rasanya
sebagai 'hardcore Jogjanese' ketinggalan informasi berharga ini.
Kain lurik biru hitam
ini bernama ‘Lurik Peranakan’. Kebanyakan orang memahami bahwa motif ini hanya
dipakai oleh abdi dalem keraton. Baju korpri jaman dulu kata kebanyakan orang
untuk menyederhanakannya. Tapi tak banyak yang mengerti latar belakangnya.
Jumlah garis lurik ini
berseling 3 & 4, sehingga disebut ‘Lurik Telupat’ atau telu dan papat. Telupat
ini memiliki makna ‘kewulu minangka prepat’, yang juga berarti ‘Rinengkuh dados kadhang ing antawisipun Abdi Dalem setunggal sanesipun,
kaliyan Hingkang Sinuwun Kanjeng Sultan’.. hehe tambah bingung.
Terjemahannya kurang lebih adalah ‘menyatu dan menjadi
saudara kandung baik sesama abdi dalem, maupun wujud persaudaraan terhadap
Sultan’.
Dengan kata lain, lurik ini merupakan satu
perwujudan dari makna ‘manunggaling kawula gusti’, penyatuan antara raja dan
rakyatnya, atau lebih tinggi lagi penyatuan antara Tuhan dan Mahluknya. Widiih..
daleem..
Selain garis tersebut, warna biru tua pun
mengandung arti ‘kedalaman’, bagai kedalaman laut, ketenangan, hening, tak bisa
dikira dan diremehkan, namun senantiasa sederhana, dan rendah hati.
Jumlah 6 kancing pada leher bermakna Rukun Iman,
sedangkan 5 kancing pada belah lengan yang juga disebut ‘belah banten’ bermakna
Rukun Islam.
Sedangkan sebutan Lurik Peranakan tersebut berasal
dari cara pemakaian kurung yang bagaikan masuk kedalam rahim ibu atau lubang
peranakan, yang dapat juga diartikan masuk lingkungan ‘njero benteng’ dalam
keraton, dimana keamanan, kenyamanan dan cinta kasih ditemui bagai dalam rahim
seorang ibu.
Hmm.. simple sederhana, namun cukup dalam dan
bermakna.
Tak tersadari pengertian ini merubah total cara
pandang saya melihat seorang tua dengan lurik peranakan dan blangkonnya yang sedang
melintas di jalan Bantul dengan sepeda onthel nya.
Jogja memang istimewa
No comments:
Post a Comment