"Sinau
sing sregep le, ben pinter olehmu sekolah, nek begjamu iso dadi pegawe negri,
luputa entuk gawean ning perusahaan mapan. Sing sabar lan prihatin ben iso
mundhak pangkat dhuwur lan gaji cukup. Ojo gampang keblinger, sing sabar le mu
ngumpulke duit, ben mengko pensiun ora kaget lan cukup uripmu".
Hmm..
sound familiar. Pesan bagi kebanyakan orangtua di Jawa pada putra kesayangannya.
Sekolah yang rajin, jangan membolos, menjadi bintang kelas agar lolos menjadi
pegawai negri. Jadi karyawan teladan, menabung yg banyak demi persiapan
pensiun, karena pensiun adalah saatnya kita akan hidup berkekurangan.
Ada
yang salah dengan itu? No! Thats totally fine dan sah-sah saja. Bapak
mana yang ingin anaknya sengsara, anak mana yang tak ingin membuat
bapaknya bangga. Pesan pesan itulah yang membentuk bangsa kita saat ini, dengan
segala tata krama, keramahan, kepatuhan, yang akhirnya menjadikan kita ...."biasa-biasa" saja.
Woops..
apa tuh? "biasa-biasa" saja? Defence mode:On. Santai boss, somehow
kita mesti jujur dengan hal ini. "Thats not right, we are doing good,
we are doing fine, we have plenty good people".
Betul, tapi dengan ukuran apa? Pembanding siapa? Berapa persentasenya? Kita
bangsa besar no doubt. Iklim bersahabat, kekayaan alam melimpah, area
luas terbentang, jumlah penduduk fantastis dengan tingkat kerukunan dan kebahagian
yang relatif tinggi.
Dengan
posisi geography yang kita miliki, dari sononya kita sudah ditakdirkan dengan
begitu banyak privilages. Kita tak perlu mempertaruhkan nyawa dalam
mempertahankan ternak kita bak satria masai di gurun tandus, kita tak perlu
berlayar menjarah ke negara tetangga laksana prajurit vikings di negri yang
musim saljunya jauh lebih panjang dalam setahun. Tongkat kayu dan batu jadi
tanaman.
Pernahkah
kita bayangkan, kira kira pesan apa yang disampaikan ayah ayah bangsa viking
pada anaknya mengetahui 9 bulan musim salju didepannya. Pernahkah terpikir
bagaimana ayah ayah bangsa jepang dan cina pada putranya demi menjelajah dunia
dengan berbagai merk produk sebagai alat perangnya?.
"Anakku,
dunia didepanmu tak mudah, tak ada tempat bagi si lemah, bertahan berarti
menyerang",
entah seperti apa kalimatnya, mindset anak mereka yang berbeda tak terpungkiri telah terbentuk dan membangun
kesadaran universal yang sangat kuat. Berevolusi dari generasi ke generasi
untuk senantiasa lebih unggul dari yang lainnya. Sementara si lemah dan
pencinta harmoni, akan tetap duduk manis dengan tangan terlipat tanpa tau masa
depan apa yang akan menjemputnya.
Di
masa globalisasi ini, jangan heran ujug ujug boss mu jatuh dari negara
tetangga. Nama perusahanmu sak det sak nyet, berubah menjadi nama asing yang
tak tau asal usulnya.
Siapa
yang ngeh pembuat sedan asal swedia volvo, ternyata sudah dimiliki oleh cina?.
Siapa yang sadar ternyata beras yang kita makan ternyata tak ditanam di tanah
nusantara? Dimana letak keadilan jika perusahaan raksasa dengan pabrik tersebar
didunia tiba tiba di kepot di tikungan oleh perusahaan kemaren sore bernama facebook
atau google.
Jaman
besok jauh berbeda dengan jaman kemaren. Bisakah kita semata mata mencetak
generasi dengan nilai matematika A di sekolahnya? Haruskah kita
mendaftarkan 13 les sepulang sekolah untuk menutupi ketakutan kita akan ketidak
pastian didepannya?
Tak
ada jawaban generik untuk mengatasi perubahan dunia ini. Yang jelas,
"If we do what we always done, we will get what we have got".
Unfortunately, kalau kita hanya mengikuti tauladan ayah kita dalam mendidik dan
pass on ke anak-anak kita... sudah cukup terbayang mau dibawa kemana masa depan
bangsa ini.
Dulu
bersekolah di universitas negeri menjadi jaminan untuk bekerja di perusahaan
ternama. Dulu bekerja di ibu negara Jakarta menjadi tolak ukur keberhasilan
anak daerah dan kebanggaan keluarganya. Apa yang akan terjadi didepan mata kita
kedepannya?, mau tak mau kita harus mengikuti
permainannya.
Bahasa
inggris yang dulu menjadi kemewahan, kedepan adalah sebuah keharusan. Sarjana
yang dulu menjadi kebanggaan, kedepan adalah suatu keniscayaan belaka.
Apakah lantas mereka harus menjadi profesor dan doktor? No no.. tak hanya itu
arahnya. Memang Indonesia adalah dimana pasar berada, dimana perputaran
perekonomian terjadi secara nyata. Pertanyaanya, siapa motornya? Dimana mereka berada?
Dengan
visi jangka panjang yang jernih dan tajam, singapura menempatkan posisinya secara
strategis di regional kita. Seberapa besarnya perekonomian di asia tenggara,
lebih dari 70% pembuat keputusan berkumpul disana. Aha.. baru ngeh ya?
Apakah
itu suatu kebetulan? Tidak. Mereka tau persis kelemahan mereka dibanding negara
tetangga. Dengan segala kekurangannya mereka sangat cerdik untuk memposisikan
dirinya sebagai 'pelayan' bagi kegiatan ekonomi negara lain. Dengan sedikit kelebihan yang mereka punya,
mereka sangat cerdas memfasilitasi negara adidaya menjadikan dirinya sebagai menara yang nyaman untuk
mengawasi kegiatan negara tersebut. Tak hanya infrastruktur, regulasi dan
policy,
atmosfir para profesional terbentuk untuk senantiasa berpihak pada kepentingan sang tamu sebagai raja.
Kembali
pada pekerjaan rumah untuk anak anak kita. Apa yang perlu kita persiapkan demi
dunia baru yang akan dihadapinya? Banyak pakar mengkonfirmasi bahwa
kecerdasan akademis sudah tak lagi menjamin tuntutan jaman.
Lahirlah
banyak tolak ukur baru seperti EQ, SQ, CQ, AQ, diluar IQ. Bagaimana mereka
mengenal dan mengendalikan Emosinya (EQ), bagaimana mereka menjadi original,
luwes, dan kreatif (CQ). Bagaimana mereka menjadi lebih humanis, berporos pada
prinsip kebaikan, toleran, dan berkeinginan teguh (SQ). bagaimana mereka
dapat bertahan sebagai climber dan tak mudah menjadi camper atau quitter (AQ).
Sepintas
terlihat justru lebih menakutkan bagi kita. Bagaimana tidak, untuk mereview
kemampuan kita pun tak elak kita harus tertunduk malu mengakui segala 'cacat'
yang kita punya. Nah lo, lantas bagaimana dan apa yang mesti kita
perbuat?
Menurut saya, menyadari kenyataan ini saja sudah suatu lompatan besar bagi
kita. At least kita terbangun dan tak ternyenyak oleh tidur panjang ini.
Selanjutnya tugas kita untuk memberi pengertian pada anak kita untuk terjaga.
Memberikan pemahaman global tentang inter relasi peristiwa di media massa,
bercerita dan mengamati fakta nyata yang terlihat sehari hari. Seperti, mengapa
produk produk dunia mulai terlihat di mall mall kita. Mencermati kreativitas
kegiatan pemasaran yang seakan mampu menyihir mereka. Menggali pikiran
kritis dengan membandingkan satu dan lainnya (strength weakness), serta
menghubungkannya dengan produk dan kemampuan Indonesia. Permainan ini akan semakin menyenangkan
disaat ide ide segar bermunculan diluar perkiraan anda.
Pemahaman
global dan kemampuan melihat sesuatu dari sudut pandang mata burung adalah
suatu langkah besar untuk memulai langkah selanjutnya.
Adalah
keharusan orang tua untuk memberi kesempatan anaknya untuk mengeksplore segala
keingintahuan dan mengarahkan pada kemantapan minatnya. Seseorang harus
beranjak dari idealis, generalis, dan akhirnya mengerucut menjadi spesialis di
bidangnya.
Dalam
tahapan ini, perjalanan wisata keluar negeri bukanlah suatu kemewahan liburan
semata. Melainkan perjalanan pendidikan dimana wawasan mereka semakin terbuka
untuk menyimpulkan baik buruknya suatu tatanan yang terbentuk dibawah budaya
yang berbeda.
Yah.
Dari perenungan ini. Apakah kita akan tetap acuh, terus berlalu, tenggelam dalam kesibukan sambil berdalih demi menyiapkan
pensiun kita yang didesain untuk merana? Tak sadar kita telah berjasa
melanjutkan tradisi pesan bapak yang telah usang dimakan jaman. Think the
opposite. Anggap saja kita bersalah, dan terbukalah pada ide-ide segar akan
perubahan sistem pendidikan kita. Tersenyumlah jika memang pada kenyataannya
nilai matematika itu ternyata 5, fokuslah pada kenyataan nilai 9-10 di
pelajaran Bahasa Jika memang itu jalannya. Selanjutnya doronglah mereka sampai
menembus angkasa.
Tak
sesimple ini saja tentunya. Teruslah menggali, membaca dan mencoba. Dan
rumuskan pesan terbaik anda untuk mereka.
No comments:
Post a Comment