Monday, August 22, 2016

Mengelola Millenials di Dunia Kerja

Gambaran Anak saya bener ini..
Goodluck for Managers and Decision makers.
We are facing same 'challenges'

Millenials.
Mereka cepat merasa bosan.
Mereka sangat mudah berpindah pekerjaan.
Mereka ingin cepat menjadi pemimpin.
Mereka selalu bekerja menggunakan headphone dan handphone.
Mereka ingin suasana kerja yang seru, keren dan memberikan kesempatan untuk mengembangkan hobi maupun minat.

Benarkah itu adalah gambaran para pegawai Millennials?
 

Fakta Pegawai Millenials
Secara sederhana, Millennials adalah mereka yang lahir antara tahun 1982 sampai dengan 2000. Berarti, mereka berusia 16-34 tahun. Tentu saja terdapat perbedaan antara seorang berusia 17 tahun yang baru lulus SMA dengan seorang berusia 33 tahun yang sudah menjadi manager di perusahaan.

Dalam dunia kerja, usia 22-30 dapat digunakan untuk mewakili karakter para Millennials. Terkait itu, terdapat beberapa fenomena yang, suka tidak suka, harus kita hadapi:
◾Jumlah pegawai Millennials akan terus meningkat jumlahnya dan akan segera (sudah) memegang posisi-posisi penting dalam perusahaan. Mustahil untuk tidak mengakomodir mereka.
◾Jika pegawai Millennials tidak merasa perusahaan tempatnya bekerja sesuai dengan karakter mereka, mereka akan lebih mudah berpindah pekerjaan ketimbang generasi sebelumnya.
◾Pendekatan manajemen perusahaan dalam mengelola pegawai Millennials tidak dapat disamakan dengan cara-cara terdahulu.

Lantas bagaimanakah cara kita harusnya menangani para pegawai Millennials agar perusahaan maupun pegawai sama-sama menang?
Marilah kita lihat dahulu beberapa karakter kuat dari para pegawai Millennials.

Karakter Pegawai Millenials
Menurt riset tahunan yang dilakukan oleh Deloitte, para pegawai Millennials memang memiliki beberapa karakter berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Riset yang mencakup 7.692 responden dari 29 negara, termasuk 300 dari Indonesia, menunjukan bahwa:

Millenials ingin bekerja di perusahaan dengan “purpose”

Ini adalah alasan terbesar bagi para pegawai Millenials memilih tempat kerjanya. “Purpose” dapat diartikan sebagai sebauah misi alias tujuan besar lain selain sekedar tujuan bisnis konvensional berupa laba. Tujuan besar itu bukan hanya terkait dengan misi sosial atau pencapaian teknologi hebat, namun juga terkait cara perusahaan mengembangkan pegawainya.

Sebanyak 43 % dari pegawai Millennials di Asia Tenggara merasa perusahaannya tidak menggunakan skills pegawainya secara optimal. Ini berarti banyak pegawai Millenials merasa dapat berkembang lebih jauh lagi, namun tidak terakomodasi di perusahaannya. Ini menjadi salah satu faktor pegawai Millenial merasa jenuh dan akhirnya berpindah tempat kerja.

Pekerjaan di sektor teknologi, media dan telekomunikasi (TMT) dianggap paling menarik

Para pegawai Miillenials tumbuh besar dalam dunia yang lekat dengan teknologi. Bagi mereka, perusahaan yang kuat di teknologi, media maupun telekomunikasi mampu memberikan tempat bekerja sekaligus belajar yang terbaik.

Perusahaan apa saja yang termasuk? Berbagai macam perusahaan startup berbasis digital seperti Gojek, Traveloka, Tokopedia, Lazada dan ratusan lainnya yang lahir hampir setiap hari. Berbagai macam perusahaan media seperti MNC, Kompas, Detik, Kaskus, Netmedia, Kapanlagi dan lainnya.  Berbagai macam perusahaan terkait teknologi dan komunikasi seperti Telkomsel, Samsung, Facebook, Google serta ratusan perusahaan advertising seperti Lowe, JWT, Leo Burnett dan lainnya.

Karakter kepemimpinan yang diharapkan bergeser
Dahulu seorang pemimpin diharapkan selalu hadir dan terlihat di tempat kerja, memiliki network yang luas serta keterampilan teknis yang mumpuni. Saat, ketiga karakter tersebut masih penting, namun bukanlah yang paling dicari seorang pegawai Millenials.

Saat ini karakter seorang bos yang diharapkan adalah mereka yang strategic thinkers, inspirational, personable dan visionary. Figur pemimpin seperti Steve Jobs (Apple), Mark Zuckerberg (Facebook), Jeff Bezos (Amazon) Richard Branson (Virgin) maupun Tony Hsieh (Zappos) adalah beberapa tokoh yang dianggap strategic thinkers, inspirational dan visionary.

Jeff Bezos, misalnya, memulai Amazon pada 1995 sebagai sebuah toko online yang hanya menjual buku. Namun, sejak hari pertama sebenarnya Bezos sudah menanamkan visi besar untuk menjadi penjual online terbesar alias menjual apa saja secara online.

Mengoptimalkan Pegawai Millenials
Melihat fakta dan  ketiga karakter pada para pegawai Millenials, tentu perusahaan harus berupaya mengakomodirnya. Beberapa cara dapat ditempuh:

1. Tetapkan “purpose” alias tujuan besar perusahaan selain laba
Bagaimanakah menentukan “purpose” perusahaan? Agak mirip dengan pertanyaan untuk menggali “purpose” seorang individu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “Apakah yang membuat Anda bangun di pagi hari setiap harinya dan berangkat bekerja?” atau “Jika Anda memiliki uang USD 100 milyar dan dalam keadaan sehat, apakah yang akan Anda lakukan dalam hidup?”

Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk membuat sebuah “purpose” perusahaan adalah dengan menanyakan: “Jika perusahaan tidak perlu memikirkan laba sama sekali, apakah yang ingin dicapai dari perusahaan ini?”

Jika perusahaan kita berjualan pakaian kerja pria misalnya, maka “purpose” kita dapat menjadi seperti: “Menggunakan fashion sebagai dorongan kepercayaan diri dari seorang profesional” atau “Menampilkan kepribadian professional yang cerdas dan berkelas melalui busana kerja”.

Namun, akan lebih menarik lagi jika “purpose” perusahaan kita memiliki aspek social di dalamnya, seperti kita bisa baca “Mission” dari Uniqlo berikut:

We are a modern Japanese company that inspires the world to dress casually. With accessible prices, superior quality and versatile style, by changing clothes, we believe that we can change conventional wisdom and change the world.

Uniqlo adalah contoh perusahaan yang menjual pakaian, namun memiliki misi besar untuk ikut mengubah dunia. Ini membuatnya jauh lebih inspiratif dan menarik bagi para pegawai Millenials.

Buatlah “purpose” yang menginspirasi dan mudah dipahami oleh setiap pegawai.

2. Integrasikan teknologi, media dan telekomunikasi (TMT) dalam perusahaan
Bila perusahaan sudah bergerak dalam sektor TMT mungkin saja akan menjadi lebih menarik bagi para Millennials. Tentu saja tanpa melupakan poin “purpose” di atas.

Lantas bagaimana jika perusahaan kita tidak bergerak di sector TMT? Tidak perlu khawair karena kita sebenarnya dapat mengintegrasikan TMT dalam lingkungan kerja kita.

Jika perusahaan kita bergerak dalam jual-beli peralatan kantor misalnya, kita dapat membangun eksistensi toko kita di dunia digital melalui pembuatan website dan media sosial populer seperti Instagram. Selain mendapatkan brand exposure tambahan, mungkin saja kita mendapatkan prospek penjualan baru.

Bahkan perusahaan yang berjualan B2B seperti General Electrics (GE) memiliki akun Instagram dengan lebih dari 700 posts, 243 ribu followers dan kisaran 2000-13.000 likes untuk setiap post-nya. Gambar-gambar yang mereka post mayoritas foto-foto indah produk mereka atau teknologi di balik produk mereka. Cukup cerdas bukan?

Contoh yang sederhana adalah pembuatan grup Whatsapp antar pegawai perusahaan. Grup ini dapat digunakan sebagai sarana informal dalam berkomunikasi secara lebih cepat. Jika pegawai sudah terlalu banyak, maka grup Whatsapp dapat dibuat lebih kecil. Jika ingin membuatnya lebih seru, kita dapat membuat kuis bulanan yang dilakukan melalui Whatsapp. Tentunya harus dimoderasi agar tetap produktif.

Cara lain yang juga cukup mudah adalah pelaksanaan sesi foto bersama setiap bulannya dengan tema tertentu. Foto-foto tersebut kemudian dapat di-share ke Instagram perusahaan, grup Whatsapp dan dipajang di papan komunikasi perusahaan.

Banyak cara untuk mengintegrasikan TMT dalam perusahaan kita dan membuatnya menyenangkan bagi para pegawai Millenials.

3. Tebarkan inspirasi dan tantangan 
Seperti kita ketahui, para pegawai Millenials menyukai tantangan dan ingin bergerak cepat untuk berkontribusi bagi perusahaan. Di sisi lain mereka juga menginginkan pemimpin yang visioner dan inspiratif. Untuk mengkombinasikan semua hal tersebut, kita dapat senantiasa membagi ide-ide besar kita kepada mereka dan memberikan tantangan kepada mereka untuk mencapainya.

Jika kita mencanangkan ingin mengubah dunia melalui pakaian kerja misalnya, maka buatlah proyek-proyek kecil yang dapat dikerjakan oleh para pegawai Millenials namun tetap mendukung misi besar perusahaan.

Momentum hari besar seperti Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus dapat menjadi ajang untuk mengkreasikan sebuah event kecil. Sebuah event yang memiliki misi untuk ikut mengubah Indonesia. Untuk konsep dan eksekusinya, kita tinggal menyerahkan kepada para pegawai Millenials.

Semua aktivitas yang menjadi contoh mengenai integrasi TMT dalam perusahaan pada poin kedua di atas juga dapat kita tugaskan kepada para pegawai Millenials. Kita dapat memberikan tantangan ini sebagai tugas tambahan bagi mereka dan meminta mereka membuktikan bahwa semua contoh tersebut dapat memberikan kontribusi positif bagi perusahaan.

Dalam mengkomunikasikan sebuah pekerjaan atau penugasan, para pegawai Millenials akan lebih senang jika diberikan tantangan ketimbang perintah. Oleh karena itu, kita harus selalu menyediakan tantangan yang dapat menumbuhkan potensi mereka sekaligus memberikan kontribusi positif bagi perusahaan. Dengan demikian, perusahaan maupun pegawai akan menang!

Penutup
Pastinya setiap perusahaan memiliki strategi dan cara tersednri dalam mengeola para pegawai Millenials dan tidak ada obat mujarab yang selalu berhasil di setiap tempat. Namun patut dicatat bahwa perusahaan yang mampu mengelola para Millenials sajalah yang akan bertahan 10-20 tahun mendatang. Alasannya sederhana; para pegawai Millenials, terlepas dari semua karakter mereka, adalah masa depan perusahaan 10-20 mendatang.

Disadur dari:
https://www.creasi.co.id/readings/141/mengelola-millenials-di-dunia-kerja


No comments:

Post a Comment